Di sebuah ruang kelas, seorang guru sedang berapi-api menjelaskan teori sejarah di depan papan tulis. Namun, di barisan belakang, seorang siswa hanya butuh waktu lima detik untuk memotret catatan dan meminta kecerdasan buatan (AI) meringkasnya, membuatkan peta pikiran, hingga memprediksi soal ujian yang akan keluar. Guru merasa sudah mengajar, siswa merasa sudah belajar. Padahal, yang sedang terjadi adalah sebuah sandiwara digital.
Realitas ini adalah “arus sungai” yang sedang menghantam dunia pendidikan kita. Deras dan tak terbendung. Masalahnya, kita sering kali terlalu sibuk melarang siswa “masuk ke air” ketimbang memberi mereka pelampung. Saatnya kita jujur: AI bukan lagi tamu asing, ia sudah duduk di bangku kelas kita. Pertanyaannya, apakah guru akan tetap menjadi pemandu atau sekadar penonton di tengah perubahan ini?
Dari “Dewa” Kelas Menjadi Teman Diskusi
Selama puluhan tahun, guru diposisikan sebagai satu-satunya sumber ilmu di kelas—the sage on the stage. Sekarang? AI punya akses ke hampir seluruh informasi di dunia.
Tapi ini bukan berarti profesi guru akan punah. Justru peran guru sekarang jauh lebih mulia: menjadi kompas etika. AI bisa memberikan jawaban teknis, tapi ia tidak punya hati. Ia bisa menulis esai filosofis, tapi tak tahu rasanya berjuang mencari jati diri. Guru harus bergeser menjadi guide on the side—pendamping yang memastikan siswa tidak hanya menelan mentah-mentah apa yang dimuntahkan mesin, tapi juga mempertanyakan nalar di baliknya.
Bahaya “Ilusi Pintar”
Ada risiko besar yang menghantui anak-anak kita, yaitu Illusion of Learning atau ilusi belajar. Berkat bantuan AI, seorang siswa bisa menghasilkan karya setingkat ahli tanpa perlu memeras otak. Hasilnya terlihat cemerlang, tapi pemahamannya nol besar.
Jika sistem penilaian kita masih mengagungkan hasil akhir (nilai 100 di atas kertas), maka kita sebenarnya sedang merayakan kepintaran mesin, bukan pertumbuhan manusia. Kita perlu mengubah cara mainnya. Nilailah prosesnya, mintalah mereka berargumen secara lisan, atau buatlah proyek portofolio yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu kali klik tombol “Generate”.
Literasi AI: Tiket Masa Depan
Banyak orang tua dan pendidik khawatir AI akan membuat anak jadi malas. Namun, mari kita lihat kenyataannya: di dunia kerja hari ini, mereka yang tidak paham cara berkolaborasi dengan AI akan tertinggal. Mengajarkan literasi AI di sekolah bukan lagi sekadar pilihan, tapi kebutuhan dasar agar Generasi Z tidak tersisih dari pasar kerja.
Namun, di sini ada “lampu kuning”. Muncul jurang lebar antara siswa yang sudah jago menggunakan berbagai tools AI dengan guru yang bahkan belum pernah mencobanya. Kita butuh reformasi kurikulum yang berani. Guru tidak harus lebih canggih dari AI, tetapi guru harus lebih bijak dalam mengarahkan penggunaannya.
Benteng di Era Manipulasi
Kita sekarang hidup di era di mana informasi palsu dan deepfake bisa tersebar dalam sekejap. Tanpa literasi AI yang kuat, siswa kita akan menjadi sasaran empuk manipulasi. Sekolah harus menjadi tempat latihan untuk skeptis secara sehat. Ajarkan siswa untuk selalu bertanya: “Apakah data ini akurat? Apa bias di baliknya? Bagaimana cara memverifikasinya?”
Melarang AI di sekolah adalah sia-sia, seperti mencoba membendung air bah dengan tangan kosong. AI adalah arus yang sangat deras. Tugas kita bukan mengeringkan sungai itu, tapi memberikan “pelampung” berupa nalar kritis dan “peta” berupa integritas moral.
Jika kita memilih untuk menjadi pemandu yang hebat, AI tidak akan menenggelamkan kemanusiaan siswa. Sebaliknya, ia akan menjadi mesin jet yang membawa mereka sampai ke seberang tujuan dengan lebih cepat, lebih cerdas, dan tetap memiliki nurani.
