Berlakangan ini, Indonesia menyaksikan fenomena menarik di dunia perpustakaan. Perpustakaan, yang sebelumnya dikenal sebagai pusat penyedia literatur bagi publik, kini mengalami perluasan peran menjadi institusi yang tidak hanya menyediakan bacaan, tetapi juga terlibat dalam proses produksi buku. Perubahan ini menandai evolusi signifikan dalam peran dan fungsi perpustakaan di masyarakat.
Salah satu pelopor gerakan ini adalah Perpustakaan Nasional melalui kehadiran Perpusnas Press. Sejak beroperasi pada tahun 2019, Perpusnas Press telah berhasil menerbitkan 636 judul buku. Awalnya, Perpusnas Press fokus sebagai penerbit yang menerima naskah-naskah terkait ilmu perpustakaan dan kepustakawanan. Namun, belakangan, fokus mereka telah bergeser ke arah penerbitan buku fiksi, terutama karya para penulis lokal melalui program workshop penulisan yang mereka selenggarakan.
Di tingkat perguruan tinggi, beberapa kampus juga mulai memperluas fungsi unit perpustakaan dengan memasukkan kegiatan penerbitan sebagai tugas baru. Contohnya adalah UPT Perpustakaan dan Penerbitan Universitas Muhammadiyah Gresik serta UPT Perpustakaan, Penerbitan, dan Percetakan Universitas Negeri Padang.
Namun, agar pemahaman kita tetap terfokus, penting untuk merujuk pada fungsi utama perpustakaan yang diakui oleh UNESCO dan ilmu perpustakaan secara umum. Enam pilar ini mencakup:
- Mempreservasi dan menyediakan akses terhadap pengetahuan: Agar dapat dinikmati oleh generasi saat ini dan mendatang.
- Memprovokasi literasi dan mendukung pembelajaran: Untuk semua tingkat pendidikan.
- Memfasilitasi kegiatan riset dan menjadi pusat akademik: Untuk berkolaborasi dan inovasi.
- Menjadi ruang publik dan interaksi masyarakat: Dalam mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
- Mempromosikan dan meningkatkan keterampilan literasi: Serta menyediakan sumber-sumber digital.
- Pengayaan dan perlindungan peninggalan budaya.
Di sisi lain, penerbit bertanggung jawab sebagai entitas yang memproduksi, mendistribusikan, dan menjual buku kepada masyarakat. Mereka bekerja sama dengan penulis untuk membawa karya tersebut ke hadapan publik setelah melalui proses editorial, desain, dan penyetakan. Penerbit juga berinvestasi dalam produksi buku dan biaya promosi, dengan mengambil risiko finansial yang signifikan.
Namun, terdapat perbedaan mendasar antara perpustakaan dan penerbit. Perpustakaan lebih fokus pada penyediaan sumber bacaan dan peningkatan literasi, sementara penerbit berorientasi pada profit melalui penjualan buku yang mereka hasilkan.
Meskipun perpustakaan memiliki data kuantitatif tentang buku-buku yang dipinjam oleh pengunjung, data tersebut hanya bersifat inspiratif untuk mengetahui tren genre yang diminati oleh pembaca.
Meskipun terjadi perkembangan yang menarik dalam peran perpustakaan dan penerbit di Indonesia, masih ada tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah kemampuan dalam meramalkan minat audiens terhadap buku-buku di masa depan.
Hal ini merupakan misteri yang belum dapat dipetakan secara sistematis, bahkan oleh editor senior di industri penerbitan yang memiliki pengalaman bertahun-tahun. Apalagi bagi para pustakawan yang lebih berfokus pada penyediaan informasi daripada memprediksi tren bacaan di masa mendatang.
Khususnya dalam konteks perpustakaan kampus yang cenderung memiliki koleksi buku akademik, tantangan tersebut semakin kompleks. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk menjalankan model bisnis penerbitan yang mengandalkan kolaborasi dengan ilmuwan terkemuka. Beberapa prodi di kampus mungkin tidak memiliki dosen yang diakui keilmuannya secara nasional atau internasional, sehingga produksi buku ilmiah dengan penulis internal dapat mengalami kendala.
Perpustakaan juga dihadapkan pada keterbatasan finansial yang mengandalkan anggaran publik dan beroperasi dengan semangat non-profit, sementara penerbit berbasis komersial dengan fokus pada penjualan buku untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan dan memberikan royalti kepada para kontributor.
Meskipun integrasi antara perpustakaan dan penerbit bukanlah konsep baru secara global, penggabungan ini membutuhkan strategi yang matang. Misalnya, penekanan pada penguatan penulis internal kampus dan semangat open access dapat menjadi titik awal yang baik.
Jika kedua entitas ini dipadukan dengan semangat komersialisasi atau sebagai bagian dari upaya kampus dalam meningkatkan penerimaan negara bukan pajak atau revenue kampus, hal itu dapat menjadi langkah yang lebih efektif.
Selain itu, penting untuk merekrut profesional penerbitan atau lulusan ilmu penerbitan untuk mengisi unit penerbitan di bawah kerjasama ini. Mereka memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang industri penerbitan dan dapat mengelola operasi penerbitan dengan lebih efektif daripada dosen-dosen yang memiliki produktivitas menulis yang tinggi atau pustakawan yang fokus pada library studies.
Dengan memperhatikan tantangan ini dan mengambil langkah-langkah yang tepat, integrasi antara perpustakaan dan penerbit dapat menjadi lebih produktif dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat akademik dan pembaca umum. Ini adalah langkah menuju masa depan di mana entitas ini dapat bekerja bersama untuk memperkaya literasi dan pengetahuan di Indonesia.
Sumber: Perkawinan Perpustakan dan Penerbitan: Tren Baru Institusi Literasi di Indonesia.
Penulis: Bunga Melssa Maurelia