Kurikulum Merdeka Belajar (KMB) merupakan inovasi yang diperkenalkan oleh Kemdikbud Ristek sebagai langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Fitur-fitur utama dari KMB meliputi penekanan pada proses pembelajaran, fleksibilitas dalam pembelajaran dan penilaian, serta Profil Pelajar Pancasila (PPP) dengan pendekatan pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Ketika kita mengulas lebih mendalam tentang setiap fitur tersebut, kita akan menemukan bahwa KMB sejalan dengan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme.
Konstruktivisme muncul sebagai sebuah teori pembelajaran yang berkembang setelah era behaviorisme dan kognitivisme, meskipun semangat konstruktivisme telah ada sejak awal abad ke-20, di antaranya melalui pemikiran John Dewey. Dua tokoh kunci dalam pengembangan teori konstruktivisme adalah Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Sementara behaviorisme dan kognitivisme dibangun berdasarkan epistemologi obyektivisme, konstruktivisme didasarkan pada epistemologi konstruktivisme.
Epistemologi obyektivisme menganggap bahwa pengetahuan ada di luar pemikiran manusia dan tugas manusia adalah untuk menemukan pengetahuan tersebut, sedangkan epistemologi konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan tidak ada tanpa pemikiran manusia, dan pengetahuan dibentuk oleh pemikiran manusia. Epistemologi konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi dengan orang lain, komunitas, dan lingkungan, dan pengetahuan tidaklah absolut. Dengan demikian, teori pembelajaran konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang diterima secara pasif, tetapi sesuatu yang dibentuk aktif melalui pengalaman dan interaksi sosial. Berdasarkan pandangan konstruktivisme ini, guru tidak seharusnya mengajar secara tradisional, melainkan harus menciptakan situasi belajar di mana siswa dapat aktif belajar melalui interaksi dengan materi pelajaran dan interaksi sosial.
Perdebatan mengenai posisi teori konstruktivisme dalam dunia pendidikan, apakah akan menggeser teori behaviorisme dan kognitivisme atau menjadi pelengkap dominan, menyoroti pentingnya kemampuan high order thinking skills (HOTS), terutama berpikir kritis dan kreatif, bagi siswa saat ini. Konstruktivisme, dengan menekankan pembelajaran aktif, berbasis proyek, dan kolaborasi, mempromosikan kedua aspek ini. Selain itu, teori ini mendukung pembelajaran berorientasi pada pemecahan masalah, yang dianggap sebagai aktivitas kognitif otentik dan kompleks. Namun, banyak sekolah masih kurang mendukung pembelajaran berbasis problem solving. Dalam konteks pembelajaran digital, konstruktivisme menemukan aplikasi relevan melalui collaborative learning online. Jejak konstruktivisme juga terlihat dalam Kurikulum Merdeka Belajar (KMB), yang menawarkan fitur-fitur sejalan dengan prinsip-prinsip konstruktivisme seperti kolaborasi, pembelajaran aktif, dan penekanan pada proses belajar. Namun, implementasi konstruktivisme dalam KMB menimbulkan tantangan bagi para guru, termasuk memahami peran baru sebagai fasilitator pembelajaran dan mengelola keberagaman dalam kelas. Dengan demikian, konstruktivisme menawarkan pendekatan yang sesuai dengan tuntutan pendidikan saat ini, tetapi mengimplementasikannya membutuhkan komitmen dan upaya sungguh-sungguh dari semua pihak terkait.